Sic Transit Gloria Mundi: Ketika Kekuasaan Tak Lagi Abadi

Tidak Ada Kejayaan Abadi

Oleh Edi Danggur*
                                 Bapak Edi Danggur

Dalam masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo pernah dielu-elukan, bahkan dipuja layaknya pemimpin tanpa cela. Popularitas dan kekuasaannya mencapai titik yang sulit dibayangkan oleh publik pada awal kemunculan sosoknya di panggung politik nasional. Namun, sebagaimana sejarah sering mengajarkan, kekuasaan adalah ruang yang berubah cepat—dan penghormatan publik tidak pernah menjadi milik abadi siapa pun.

Ketika tidak lagi memegang tampuk kekuasaan, berbagai tudingan terhadap Jokowi bermunculan. Dari isu ijazah palsu, dugaan monopoli bisnis keluarga, hingga sangkaan penyimpangan kebijakan selama berkuasa—semuanya mengalir tanpa henti. Publik yang dulu mengagungkan, kini ikut “menelanjangi” sosok yang pernah dijunjung tinggi. Begitulah nasib para penguasa: posisi terhormat dapat berubah menjadi subjek kritik ketika masa jabatan usai.

Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru. Kekuasaan selalu memberi godaan untuk merasa dapat mengendalikan segalanya—mengangkat atau meruntuhkan karier seseorang, menentukan arah kebijakan, bahkan memengaruhi hidup banyak orang. Namun pada saat yang sama, kekuasaan mengandung sifat paradoks: semakin tinggi seseorang diangkat, semakin besar pula potensi ia jatuh.

Dalam tradisi teologis, ungkapan Latin Sic transit gloria mundi—“Demikianlah kemuliaan dunia ini berlalu”—menjadi pengingat bahwa kejayaan duniawi bukanlah sesuatu yang kekal. Thomas Cranmer, teolog Inggris abad ke-16, menekankan bahwa kemuliaan, kekayaan, dan kekuasaan selalu memiliki akhir. Apa pun yang kita genggam hari ini, pada waktunya akan terlepas dari tangan kita.

Pesan Moral untuk Penguasa dan Rakyat

Ungkapan Sic transit gloria mundi relevan bagi siapa saja yang pernah atau sedang berada dalam lingkaran kekuasaan. Bahwa jabatan hanyalah titipan, bukan tujuan akhir. Kekuasaan semestinya menjadi sarana untuk melayani, bukan menindas. Ketika seseorang menyalahgunakan wewenangnya, ia sedang meletakkan benih dari kejatuhannya sendiri.

Bagi masyarakat, frasa ini juga mengajarkan agar tidak memuja figur berlebihan. Pemimpin adalah manusia biasa, bukan sosok suci yang bebas dari kritik. Mengagungkan pemimpin secara membabi-buta hanya akan menciptakan ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan.

Implementasi dalam Kehidupan Harian

Nilai dari frasa tersebut dapat diterapkan dalam hidup kita:

1. Menyadari bahwa hidup dan jabatan bersifat sementara, sehingga setiap keputusan harus diambil dengan kebijaksanaan.
2. Tidak terikat pada materi dan kekuasaan, karena semua itu dapat hilang sewaktu-waktu.
3. Mempersiapkan diri menghadapi akhir dari segala kejayaan, baik dalam karier maupun kehidupan pribadi.
4.Mengutamakan nilai-nilai kekal, seperti relasi dengan Tuhan, keluarga, dan sesama.
5.Hidup dalam kerendahan hati, menyadari bahwa manusia tidak mengontrol segalanya dan karena itu tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan.

Dalam tradisi Katolik, frasa ini bahkan dibacakan saat penobatan paus sebagai pengingat bahwa sekalipun seorang Paus menjadi pemimpin spiritual miliaran umat, ia tetap manusia yang kelak akan kembali pada kefanaan.

Pada akhirnya, kekuasaan bukanlah tujuan akhir. Yang tersisa ketika semuanya berlalu adalah jejak kebaikan, integritas, dan pelayanan. Itulah kemuliaan sejati yang tidak hilang oleh waktu—kemuliaan yang tak dapat diruntuhkan oleh pergantian zaman.

                      *Penulis adalah seorang advokat,
                        tinggal di Jakarta

Editor: Milikior Sobe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Urgensi Dukungan Emosional bagi Ibu Pasca Keguguran

Aku Sehelai Kain Putih

Degradasi Makna Kata