Degradasi Makna Kata
Sisilia Velma Oktaviani Lawi*
Bahasa Indonesia, sebagai identitas bangsa, memiliki peran sentral dalam kehidupan bernegara. Dari Sabang sampai Merauke, keberagaman bahasa daerah menjadi kekayaan yang tak ternilai. Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi fenomena pergeseran makna kata yang mengkhawatirkan.
Seiring waktu bahasa Indonesia sebagai identitas dan pemersatu bangsa terus mengalami metamorfosis. Namun, perubahan ini tidak selalu positif. Degradasi makna kata, terutama akibat penggunaan bahasa gaul dan dialek daerah yang tidak terkontrol, menjadi isu krusial yang perlu diperhatikan.
Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional, terus berkembang dan beradaptasi dengan zaman. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya "Berbeda-beda tetapi satu jua" mencerminkan semangat persatuan dalam keberagaman, di mana bahasa memiliki peran krusial dalam menjaga integrasi bangsa. Namun, perkembangan bahasa juga membawa tantangan tersendiri.
Salah satu tantangan tersebut adalah pergeseran makna kata, terutama dalam penggunaan bahasa gaul dan dialek daerah. Di Jakarta, misalnya, kata "Gue" (aku) dan "Elo" (kamu) yang awalnya netral, kini memiliki konotasi eksklusif di kalangan remaja. Hal serupa terjadi di Manggarai, NTT, di mana kata "Selo," (pelan) "folo-folo," (ikut-ikut) dan "met" (orangtua) mengalami perubahan makna yang signifikan.
Bahasa Indonesia bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga cerminan budaya, nilai, dan jati diri bangsa. Ketika bahasa dirawat dengan baik, maka warisan intelektual dan kultural bangsa pun ikut terjaga. Oleh karena itu, mari kita jaga dan lestarikan bahasa Indonesia sebagai identitas nasional yang berdaulat dan bermartabat.
*Mahasiswi UNIKA St. Paulus Ruteng, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Kelas 2025B
Komentar
Posting Komentar