DIA PERGI, UNTUK KITA

JUMAT, 15 APRIL 2022
*"Sengsara dan Salib Kristus, Pembebasan Manusia dari Belenggu Dosa"*
(Yoh 18:1-19:42)


Pengarang Injil keempat yakni Yohanes membeberkan secara dramatis perihal proses sengsara Tuhan kita Yesus Kristus, mulai dari penangkapan sampai dengan kematian-Nya. Sungguh, sebuah kisah tragedi yang memilukan. Yesus Kristus yang begitu baik, perhatian dan cinta kepada manusia harus mengalami nasib naas dan mengakhiri hidup-Nya di kayu salib. 

Akan tetapi meskipun kisah ini mengemas kesengsaraan ("passio"), namun Yohanes menceritakannya dengan sangat tenang dan terkesan mulia. 

"Passio" versi Yohanes memperlihatkan sebuah drama-kontras yang menarik. Yesus menderita sebagai raja. Tema raja sangat ditonjolkan dalam Yohanes. Di sini, kita melihat bahwa kendati Yesus mengalami sengsara, namun Dia tetap tenang, bahkan Dia mampu menguasai keadaan panggung pengadilan. Seakan Yesus sudah melampaui kemanusiaan-Nya, berbeda dengan "passio" yang tampak dalam sinoptik, dimana Yesus merasa takut, berkeringat darah, berdoa memohon agar piala itu berlalu. 

Dalam Yohanes, Yesus sengsara, tetapi seluruh drama sengsara itu sudah diwarnai terlebih dahulu oleh cahaya kemuliaan kebangkitan. Akan tetapi, terlepas dari sisi "passio" yang mulia itu, bagaimanapun, pusat permenungan kita hari ini adalah SALIB. Salib identik dengan penderitaan. Inipun akan sulit dipahami bila kematian Yesus dilepaskan dari konteks sejarah-Nya. 

Kita, sebagai orang Kristiani, percaya bahwa Yesus adalah baik. Tetapi fakta ini tidak jelas bagi mereka yang waktu itu berada dalam konflik hebat. Kesulitan lain ialah bahwa kita cenderung melepaskan kematian ini dari konteks politisnya. Kita lupa bahwa kematian Yesus tidak privat, yakni karena sakit, tua atau bunuh diri. Yesus dibunuh oleh penguasa resmi. Itu berarti bahwa hidup dan karier-Nya mendapat tantangan. Orang seperti Dia dianggap rewel, supersiv, provokator, makar, “teroris” berbahaya, bahkan ancaman bagi penguasa.

Untuk memahami peristiwa ini lebih dalam, kita lebih dahulu harus menjauhkan salah pengertian yang barangkali beredar di kalangan kita saat ini. Salah pengertian pertama adalah ada kecenderungan yang kita warisi untuk mengatakan bahwa Yesus mati karena MURKA Allah. Kita tidak sadar bahwa sengsara Yesus adalah harga yang harus dibayar untuk merekonsiliasikan kita dengan Bapa-Nya. 

Salah pengertian yang kedua berhubungan dengan ini, yakni kultus penyiksaan badan, sebagai kultus rasa sakit dan penghinaan tubuh. Padahal salib merupakan ungkapan tertinggi dari asetisme anti-tubuh. Benar bahwa Perjanjian Baru memandang kematian Yesus sebagai pernyataan kehendak ilahi (bdk. Mrk 14:36; Mat 26:39; Luk 22:42), tetapi menganggap ini sebagai pelunakan murka Allah kiranya bertentangan dengan kepercayaan akan Bapa yang penuh cinta dan kemesraan sebagaimana yang umumnya dilukiskan oleh pengarang Injil menurut Yohanes. Juga kultus penyiksaan tubuh bertentangan dengan ajaran Kitab Suci tentang Allah yang mencipta tubuh dengan baik (Kej 1:31), dan bahwa kita hendaknya memuliakan Allah melalui tubuh kita, karena tubuh adalah bait Roh Kudus (1 Kor 6:19-20). 

Karena itu, kita harus memahami kematian Yesus sebagai kehendak baik kepada pekerjaan Bapa; bukan sebagai peredaan kemarahan, pun bukan sebuah bentuk sikap heroik ekspresi penyiksaan diri. 

Kematian Yesus adalah ungkapan solidaritas Allah dengan keadilan, cinta dan damai ilahi. Kematian Yesus merupakan ungkapan paling tinggi dari CINTA Ilahi.

Yesus telah memberikan segala-galanya yang Ia miliki kepada kita. Dia berjalan berkeliling dan berbuat baik, menghadirkan Kerajaan Allah, menyembuhkan yang sakit, membela yang kecil terbelunggu, mengalahkan kuasa jahat dan iblis, membebaskan orang dari permusuhan dan ikatan-ikatan ketidakadilan. Dia menjanjikan Firdaus dan hidup abadi, damai sejahtera di rumah Bapa. Puncak kasih penebusan-Nya ialah pemberian diri sampai tuntas, tanpa batas.

Hari ini, dalam situasi bayang-bayang ketakutan dan kecemasan kita terhadap sang pembunuh tak kasat mata, covid-19 alias Corona, kita menundukkan kepala atas wafatnya Tuhan Yesus. Peristiwa yang mewarnai seluruh perjalanan iman kita sebagai seorang kristiani. 

Mari kita berjanji dengan sepenuh hati bahwa pengorbanan besar Tuhan Yesus itu tidak akan sia-sia. Kita akan membalas pengorbanan Tuhan Yesus ini lewat sikap kita yang selalu setia kepada-Nya sampai kematian kita.

"Kami menyembah Engkau, Tuhan Yesus Kristus, di sini dan di semua Gereja-Mu yang ada di seluruh dunia, dan kami memuji Engkau, sebab Engkau telah menebus dunia dengan salib-Mu yang suci". Amin.

Tuhan memberkati dan melindungi kita, serta memberikan kita damai sejahtera.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

GURU DAN SECANGKIR KOPI

Segala Syukur dan Pujian Hanya Pada-Mu, Tuhan

MAMA, AKU INGIN PULANG_untukmu Emilia Sanur